Hujan Cahaya
“Hujan Cahaya akan segera dimulai!” ujar bocah menunjuk seberang lautan. “Hujan Cahaya?” tanya Kaim padanya. “Uh-uh. Terjadinya setiap malam, jauh disana” jawabnya dengan senyum polos. Bocah lelaki itu belum pernah meninggalkan pulau sejak ia lahir. Bocah berumur 10 tahun itu hidup di pulau yang sangat kecil dan miskin, satu-satunya cara untuk bertahan hidup hanyalah memancing dengan kapal-kapal kecil atau mengumpulkan buah di hutan. Hari-hari monoton datang silih berganti, penduduk pulau bangun saat subuh dan tidur di bawah terangnya bintang-bintang. Bocah itu tidak sadar bahwa hal seperti itu dapat menjadi kebahagiaan paling tinggi. Ia mulai berbicara pada Kaim, yang mulai memperhatikannya. Bersantai di pantai di bawah sinar rembulan, sosok bocah tersebu nampak sepertti patung coklat. “Disana, di tempat dimana Hujan Cahaya jatuh, adalah pulau yang sangat besar, betul? Pulau tersebut jauh lebih besar dari pulau ini, dan lebih banyak barang disan, penuh dengan benda-benda bersinar dan indah. Juga makanan yang lebih lezat dari yang dapat kubayabgkan, betul? Aku tahu semua itu”.
Kaim tidak bilang sepatah katapun kecuali tersenyum kecut. Di balik horizon terdapat pulau yang sangat besar, sebuah benua. Kaim ada disana 4 hari yang lalu, lalu ia berlayar 3 hari 3 malam, ia menyebrangi lautan menuju pulau kecil ini. “Aku tahu banyak hal, tapi aku tak pernah melihatnya” kata si bocah, nada suaranya menurun. Ia menundukkan kepalanya. “Maukah kau pergi kesana?” tanya Kaim. “Tentu saja aku mau” jawabnya tanpa keraguan. “Semua anak disini bersedia”. “Semua orang nampaknya ingin meninggalkan pulau kecil ini, kurasa” ujar Kaim. “Tentu saja!! Segera setelah umur mereka cukup untuk bekerja, mereka akan pergi ke negeri lain. Aku juga, aku sudah siap 3 tahun lagi. Lalu aku akan menggunakan rakit yang kau gunakan untuk kesini, pergi ke negeri lain, bekerja keras dan menikmati makanan lezat”. Si bocah mengangkat kepalanya lagi. Menatap lautan, metanya berbinar, mata yang penuh harapan dan mimpi. Namun mereka tidak tahu apapun tentang negeri lain. Ia tidak dapat mengetahuinya sampai tiba disana. Tidak satupun pemuda yang menyebrangi lautan, dengan mata penuh mimpi dan harapan, kembali lagi. “Tentu saja tidak” ujar si bocah. “Negeri lain itu lebih menyenangkan, tidak ada alasan untuk kembali!!” Si bocah percaya bahwa kebahagiaan menunggunya di negeri lain, sama sekali ia tidak ketahui. Hanya ketika mereka meninggalkan pulau maka orang-orang berkulit coklat ini akan belajar bagaimana orang-orang di negeri lain memperlakukan mereka, yang memiliki warna kulit berbeda. Bahasa yang digunakan di pulau ini tidak dapat dipakai di negeri lain, sehingga orang negeri lain menatap dengan tatapan dingin. Lalu, orang-orang berkulit coklat akan berakhir di perkampungan orang perantauan. Kata-kata yang pertama kali di dengar oleh orang negeri lain, yang digunakan untuk menjuluki perantau adalah pendatang ilegal.
Si bocah meninggalkan pantai lalu kembali dengan membawa banyak buah. Ia berkata buah-buah tersebut tumbuh ketika angin dari laut bertemu dengan angin dari gunung. “Buah-buah ini paling baik dipetik ketika bulan purnama penuh. Silahkan kau coba” ia lalu menyodorkan buah-buah tersebut kepada Kaim. “Kau akan tertawa, kami menamakan buah ini dengan nama yang sangat indah yaitu Bibit Kebahagiaan”. “Nama yang sangat bagus”. Ia menggigit buah Bibit Kebahagiaan. Bentuknya menyerupai buah apel di negeri lain, namun ukurannya dua kali lebih kecil dan kandungan airnya jauh lebih banyak dan manis.
“Ini sangat enak” ujar Kaim. “Kau betul-betul menyukainya? Syukurlah” si bocah berkata sambil tersenyum, namun segera ia menundukkan kepala dan mendesah. “Aku juga sangat menyukainya” ujar si bocah, “Tapi kurasa di negeri lain lebih banyak yang lebih banyak, betul?” kaim tidak mennjawab pertanyaan si bocah, dan menikmati buah di tangannya gigitan demi gigitan
Bocah itu betul, banyak makanan di negeri lain yang lebih enak daripada Bibit kebahagiaan. Lebih tepatnya, pernah ada banyak makanan enak. Sekarang negeri tersebut berubah menjadi medan perangan. Perang dimulai 6 bulan lalu, itulah saat si bocah melihat “Hujan Cahaya” setiap malam. Kemakmuran negeri lain ekstrim. Kebahagiaan paling berkilau disana tersedia bagi mereka yang memiliki cukup uang, dan uang dapat tersedia tanpa hambatan bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Mereka yang tidak punya kekuasaan atau kekayaan mendapatkan pelepasan dari orang yang lebih lemah dan miskin dari pada mereka, lalu megejek, mengucilkan, dan merendahkan mereka. Orang-orang dari pulau, dengan bahasa dan kulit yang berbeda, adalah kelompok asing di negeri lain. Hanya itulah satu-satunya cara bagi penduduk negeri lain untuk mengadili. Sebetulnya kekuatannya mereka telah mencapai titik saturasi dan kemakmuran mencapai keadaan stagnan, sehingga expansi menjadi satu-satunya plihan. Jalan bagi para pemimpinnya agar tetap kuat dan makmur adalah berperang dengan negara tetangga.
“Sebentar lagi” ujar si bocah, menatap jauh ke lautan dengan tawa. “Hujan Cahaya akan jatuh sebentar lagi, jauh di seberang lautan”. Perang seharusnya berakhir dengaan cepat. Semua orang di negeri lain dengan kekuatan dan kemakmuran tak terbatas, sangat mudah untuk menjatuhkan negeri tenangga. Perang pertama terjadi sesuai dengan rencana, dan negeri yang terus di jajah terus memberi hasil, sehingga para penjajah haus akan kemenangan. Satu demi satu negara-negara tetangga diserang, satu demi satu pulau yang masih selamat semakin takut akan menjadi target selanjutnya. Strategi diplomasi yang dilakukan oleh penjajah gagal. Siapa yang menjalin diplomasi dengan negara penjajah, yang tahu bagaiman cara menguras kekuasaan dan kekayaan? Aliansi pun di bentuk oleh negara-negara yang masih bertahan. Bersama-sama, aliansi tersebut mengunci keserakahan sang negeri penjajahan. Dari titik tersebut perang berhenti sejenak, dan pasukan mulai mundur setahap demi setahap. Kekayaan dan kekuasaan negeri penjajah pun terkuras sedikit demi sedikit. Kebencian akan perang tersebar, dan untuk menghentikan perang tersebut maka pihak pmiliter menyebarkan propaganda palsu: Pihak militer berkembang semakin kuat!! Pasukan kita sekali lagi berhasil menghancurkan pasukan musuh!!
Pada kenyataannya, negara-negara yang tadinya terjajah terlepas satu demi satu, dan pihak aliansi kini menerabas perbatasan untuk menyerang negara penjajah utama. Sebagai respon, prajurit negara penjajah meluncurkan serangan balik dan berhasil. Hari-hari penuh dengan kemenangan di depan mata. Namun kekuatan besar kakaisaran tidak puas dengan menghancurkan satu demi satu negara aliansi, karena pihak militer kini menargetkan negara aliansi!! Dan seperti yang terus terulang dalam sejarah, pihak penjajah mencari kesempatan untuk mengadu domba dengan tujuan memperluas kekuasaan. Merasa kalah jumlah pihak aliansi menyewa prajurit-prajurit bayaran dari benua lain, Kaim salah satunya. Selama berhari-hari ia berpartisipasi dalam pertempuran yang berakhir dengan kekalahan, dimana tidak ada jalan untuk menjelaskan siapa yang bertempur untuk kebenaran. Setelah melihat rekan-rekan prajurit bayarannya jatuh satu demi satu, Kaim bergerak menuju pelabuhan.
Pulau si bocah terletak di daerah netral. Ukurannya tidak memadai untuk medan perang maupun memiliki kekauyaan untuk menarik prhatian negara yang bertempur. Namun Kaim tahu akan yang akan terjadi. Ketika pertempuran semakin meluas, pulau kecil ini akan sangat berharga untuk menyimpan cadangan makanan perang. Kedua kubu tentunya akan memperebutkan pulu ini dengan dua pilihan: menjadikan markas, atau menghancurkan pulau tersebut sampai menjadi abu pihak musuh tidak bisa memakainya sebagai markas. Hal ini pasti terjadi, dan waktunya semakin dekat, akan terjadi seminggu dari hari ini, bahkan lebih cepat tiga hari lebih cepat. Kaim datang ke pulau ini untuk memberikan pesan tersebut, Untuk memberitahukan orang-orang agar mereka dpat melarikan diri menuju pelabuhan negara lain. Ia ingin mereka untuk memulai mengevakuasi anak-anak. Kaim tidak ingin lagi menyaksikan anak-anak tewas seperti serangga yang berjatuhan.
“Oh lihat, sudah di mulai!” si bocah berteriak kegirangan, menunjuk horizon. “Hujan Cahaya!!” jauh di lautan semburat kemilau putih menghiasi angkasa. Kekaisaran negara penjajah telah memulai pemboman malam. Si bocah sebetulnya tidak tahu bentuk sebenarnya hujan terang itu. Ia melihatnya dengan mata berkilauwan sambil bergumam “Indah sekali, sangat indah...” dilihat dari kejauhan Hujan Cahaya memang sangat indah seperti ratusan bintang jatuh dari angkasa. Namun hanya dilihat dari kejauhan. Bunya dentuman bersahutan di angkasa. “Guntur? Oh tidak, jika hujan maka kita tidak dapat memancing besok” ujar si bocah dengan senyuman dan gerakan bahu. Ia betul-betul rekan kecil yang sangat ramah, pikir Kaim. Bocah itu melihat Kaim pertama kali di pantai kemudian bicara padanya tanpa ragu “Apakah kau seorang pengembara?”. Dan ia berbicara pada Kaim layaknya seorang teman lama. Kaim ingin anak seperti ialah yang berlayar pertama besok. “Aku akan pulang sekarang” ujar si bocah. ”Apa yang kau lakukan?”. “Oh , kupikir aku akn tidur saja dibawah pohon”. “Kau bisa tidur di gudang kami” “Kenapa tidak kau habiskan malammu disana?”. “Terima kasih” balas Kaim. “Namun aku ingin melihat lautan lebih lama lagi. Besok, kupikir aku ingin kau membawaku berkeliling”. “Aku mengerti. Kau ingin bertemu dengan kepala desa. Aku tahu jalan pintar melewati hutan”. Kami berharap dapat menyakinkan kepala desa untuk mengevakuasi penduduk pulau. Jika mereka dapat bergerak cepat, mereka tentu akan selamat. Tetapi...
Ketika si bocah berdiri lalumembersihkan celananya dari pasir, ia melihat ke langit sambil bertanyna-tannya. “Aneh” katanya. “Kederangannya berbeda dari suara guntur”. Suasana dentuman terus bersahutan tanpa jeda. Sedikit demi sedikit kedengarannya semakin dekat. Kaim seketika waspada kemudian berteriak kepada bocah. “Ke hutan!! Cepat lari kedalam hutan!!”. “Apa...?”. “Cepat!!!!!” Kaim semakin keras. Suara tertelan oleh deru suara senapan mesin. Hujan Cahaya telah dimulai. Ternyata pulau tersebut menjadi target penyerangan lebih cepat dari perkiraan Kaim. “Cepat!!” Kaim berteriak, menggapai tangan si bocah. Hutan adalah harapan satu-satunya si bocah “Hei, tunggu sebentar!!” teriak si bocah, melepaskan pegangannya dari Kaim kemudia melihat ke langit. “Hujan Cahaya turun disini sekarang, wow!” Sambil menari kegirangan, si bocah lari menuju pantai dan akhirnya di serbu oleh Hujan Cahaya.
Satu malam pemboman cukup membumi hanguskan seluruh pulau. Tiidak sadar akan kebahagiaan yang memiliki, bahkan tidak tahu kebahagiaan itu terenggut hanya dalam waktu semalam, orang-orang yang hidup di desa yang masih hidup pada sore hari kini semua tewas dipagi hari. Kecuali satu manusia abadi: Kaim. sekali lagi, perang kembali terjadi. Bocah yang memberi julukan Hujan Cahaya itu tidak akan membuka matanya lagi dengan antusias. Kaim membaringkan tubuh sang bocah di sebuah kano tua kecil yang selamat dari kobaran apa. Ia menempatkan beberapa buah Bibit Kebahagiaan di dada si bocah, digenggam oleh kedua tangannya, berharap dapat menjadi bekalnya perjalanan ke surga. Ia mendorong kano tersebut ke air dan mengarahkannya ke laut lepas. Ditangkap oleh arus, digerakkan oleh ombak, kano tersebut bergerak menjauhi dari pantai. Seorang yang sangat ramah, yang bahkan dalam kematiannya masih dapat tersenyum. Mungkin itu hadiah dari para dewa untuk si bocah yang kini betul-betul melakukan perjalanan. Semoga ia tidak pernah sampai ke negeri lain itu, Kaim memohon. Atau negeri-negeri penuh keserakahan. Kaim tahu tidak ada tempat yang bebas dari Hujan cahaya. Karena tahu akan hal tersebut maka ia meneteskan air mata untuk si bocah.